Tersenyumlah Bidadariku Yang Terluka


Oleh Nunung N.

Gadis itu tengah duduk dan membaca secarik kertas dalam kamarnya yang sedikit temaram. Sebuah undangan untuk orang tua mahasiswa yang akan diwisuda. Gadis itu Lina. Lima hari lagi dia akan meraih gelar sarjana komunikasi.

"Apa aku harus kembali ke rumah itu ya, sudah hampir empat tahun aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana." Lina bergumam.

Hampir empat tahun dia tak pernah lagi mengunjungi tempat dia dahulu merenda masa kanak-kanak dan remajanya. Sejak dia terlibat perang mulut dengan papanya. Hanya karena papa Lina menginginkan anaknya kuliah di kedokteran. Sementara, Lina memilih ilmu komunikasi sebagai jalur pendidikan.

Dalam emosi, Lina meninggalkan rumah. Walau memang dengan berat hati, dia harus meninggalkan adiknya, Rani, yang masih kelas 2 SMP. Lina menyesali semuanya. Andai mamanya tidak terlalu cepat meninggalkan mereka. Pasti pertengkaran itu akan sedikit terhindari dan dia tak harus pergi dari rumahnya.

Lina bangkit dari kursi dan meraih HP-nya setelah cukup lama berdering. "Hai Bram, ada apa?" tanya Lina.

"Lin, inget ya besok ada meeting, datang lebih pagi ya," jawab Bram. "Pasti." Jawab Lina singkat.

"Ya... kalau begitu, met bobo ya, sayang," Bram mengakhiri pembicaraan.

Bram adalah orang terdekat Lina saat ini. Dia sering memberikan semangat kepada Lina dalam menjalankan kehidupannya. Bram juga memberikan kesempatan kerja bagi Lina untuk bekerja di radionya sebagai PR.

Pagi itu Lina berangkat ke kantor dengan banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Dia menjadi sulit berkonsentrasi. Bram melihat perubahan pada sikap Lina. Bram menghampiri Lina, "Ada apa sih, seharian ini kamu kelihatan kusut banget?" tanya Bram.

Lina menyerahkan surat undangan wisuda itu kepada Bram. Bram membacanya, kemudian dia berkata "So, what's wrong?"

"Kamu sendiri kan tahu, sudah lama aku tak berhubungan lagi dengan papa. Sekarang tiba-tiba aku harus bertemu lagi dengannya. Aku bingung, lebih tepatnya canggung dan gugup," kata Lina.

"Kenapa kamu harus bingung, justru sekarang waktunya kamu menunjukkan pada papamu kalau bisa berhasil walaupun tanpa bantuan darinya," ujar Bram.

"Tapi...." Lina masih bimbang.

"Sudahlah, nanti setelah pulang kerja aku antar kamu ke rumah. Okay..." kata Bram disambut dengan anggukan Lina.

Rumah itu tetap tidak berubah. Masih bercat putih, sama seperti saat Lina terkahir mengunjunginya. Sejenak Lina ragu untuk melangkah masuk, namun Bram meraih tangannya dan membimbing ke dalam.

Pintu terbuka dan tampak Bik Minah. "Non..." Perempuan tua itu terkejut. "Ada papa, Bi?" tanya Lina. Bik Minah tampak gugup. Lina berjalan masuk.

"Bapak sudah dua minggu tidak pulang, Non. Ehm... sejak Non pergi dari rumah, banyak yang telah berubah, Non. Bapak jadi jarang pulang, katanya sih urusan bisnis. Sedangkan Mbak Rani sering pulang malam, bahkan sering juga tidak pulang," jelas Bik Minah panjang lebar. Lina tersentak kaget mendengar perkataan Bik Minah.

"Sekarang Rani ada di kamar?" tanyanya kemudian.

"Ada, Non, di kamar, sudah beberapa hari ini Mbak Rani tidak keluar kamar. Mbak Rani juga tidak memperbolehkan saya masuk ke kamarnya. Oh ya Non, minum apa?" tanya Bik Minah.

"Buatkan untuk Bram, saya tidak usah," kata Lina. "Bram, aku naik dulu, perasaanku nggak enak," ucap Lina sambil pergi ke lantai atas. Sampai di kamar adiknya, dia shock. Rani sedang memasukkan jarum suntik ke lengannya. "Rani!!!" Lina berteriak dan berlari ke arah Rani dan segera merampas alat suntik itu.

"Apa-apan kamu !! Kamu make?" teriak Lina terhadap adiknya.

"Bukan urusan kamu! Ngapain kamu ke sini, urus aja diri kamu sendiri." Teriak Rani. Dia tampak kesakitan.

Rani menghindar dan berlari ke pojok ruang. "Pergi kamu! Di mana kamu saat aku kesepian. Saat aku ada masalah. Aku sendirian di sini." Rani berkata dengan semakin terisak.

"Maafin aku Ya, Ran. Aku sayang ama kamu aku janji gak bakalan ninggalin kamu lagi," jawab Lina. Lina perlahan-lahan mendekati adiknya dan mendekapnya. Rani semakin meronta, namun dekapan Lina tak melemah.

"Bik...," Lina berteriak. Bik Minah datang tak sendiri. Dia bersama Bram. "Bik tolong telepon dokter." Kata Lina. Bik Minah segera keluar. "Bram tolong geledah kamar ini, mungkin ada yang masih tersisa." Kata Lina sambil menyerahkan suntikan itu kepada Bram. Keadaan di rumah itu sudah mulai terkendali. Rani sudah mulai tenang.

Saat papa Lina datang, mereka berbicara di ruang kerja. Lina menceritakan maksud kedatangannya. Diserahkannya undangan wisuda itu kepada papanya. Papa Lina menerima dan bersedia datang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tersenyumlah Bidadariku Yang Terluka"

Posting Komentar