Oleh: C. Febrilya
Aku pulang dengan langkah kecil yang lelah. Seharian hanya sedikit tempe yang terjual. Untunglah, tempe-tempe daganganku masih berbentuk kedelai sehingga besok bisa kujual lagi.
Anak perempuan kecil berambut ikal menyahutku di depan pintu dengan senyum yang rnenggemaskan. Matanya bulat, bibinya merah dengan dua pipi gembul yang lucu. Namun, siang ini dia terlihat kotor. Mungkin dia selesai bermain tadi dia tidak mandi.
Anak cantik dan lucu itu memang tidak ada yang mengurus sehingga kesan kotor melekat padanya. Baju usang pemberian tetanggalah yang sehari-hari kupakaikan padanya. Aku tak bisa membelikannya apa-apa. Sebab, untuk makan saja aku harus banting tulang seperti siang ini. Dengan sisa tenagaku yang renta kuhidupi dia seadanya.
Tangan kecilnya menggandeng tanganku yang telah keriput masuk ke rumah yang lebih pantas disebut gubuk, peninggalan suamiku yang siap ambruk. Setelah daganganku kuletakkan di atas meja, kumandikan dia di sumur berlumut tanpa sabun. Lalu, kuajak dia tidur di dipan tanpa kasur. Setelah dia terlelap kuselimuti dia dengan gombal. Hanya itulah yang aku punya untuk cucu tunggalku tersebut. Kulihat waiah lucunya telah terbuai dalam mimpi, bersih nan imut.
Hatiku nelangsa setiap kali melihatnya tersenyum. Di saat anak-anak seusianya rnemakai baju baru dan mulai bersekolah di TK, sesuap nasi saja aku harus susah payah memberikannya. Apalagi memberikan apa yang umumnya diberikan orang tua kepada anaknya menjelang dia sekolah.
Anak perempuan ini adalah cucu pertama sekaligus cucu tunggalku yang dititipkan anakku sebelum dia pergi merantau lima tahun lalu. Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan sekarang ayahnya tak pernah sekali pun menjenguknya setelah rnerantau.
Sehingga, akulah yang harus menghidupinya, mencurahkan kasih sayang kepadanya dan menjadi orang tua baginya. Dia pun memanggilku dengan sebutan emak. Suamiku sendiri telah meninggal delapan tahun lalu sehingga kini aku menjalani hari tuaku dengan ditemani Hanah, cucuku itu.
Tetangga-tetangga memanggilku Mbok Rikah. Kadang mereka memanggilku datang ke rumahnya untuk membeli tenagaku. Aku menjadi huruh setengah hari dengan upah yang minim, namun aku tetap mensyukurinya.
Sore ini aku bekerja di rumah Bu Salim. Hanah menyusulku ketika aku sedang mencuci.
"Mak, lapar.." Hanah merengek di depanku. Ya ampun.. aku lupa memberinya makan sebelum tidur tadi karena aku sendiri juga telah capek.
"Hanah belum makan? Sini, Emak masih nyuci.
"Hanah makan sini saja," Bu Salim ternyata mendengar rengekan Hanah. Dengan langkah kecilnya, Hanah mengikuti perempuan setengah baya itu.
"Waduh Bu, terima kasih banyak. Tadi saya lupa tidak memberi makan siang," ucapku berterima kasih atas kebaikannya yang sangat menolongku. Alhamdulillah, aku mendapat pertolongan. Aku memang tidak mempunyai makanan di rumah. Aku hanya bergantung pada upah yang diberi Bu Salim untuk makan sore ini...
Besok lusa telah memasuki bulan Ramadan. Itu berarti aku akan bekerja dan menjalani puasa walau tanpa sahur dan Hanah kecil bisa makan seadanya. Di belakang rumah masih ada beberapa pohon singkong.
Siang ini aku menjalani puasa dengan tubuh lemas, mungkin karena tidak sahur. Pagi tadi aku telah mburuh dan berdagang tempe di Pasar Waringin, pasar kecil di perbatasan desa.
Hanah telah tidur. Kulihat di meja masih tersisa dua potong singkong rebus. Aku tidur di dekatnya, memeluk tubuh gadis kecil itu. Terasa sesak memikirkan bagaimana esok aku menghidupinya.
Bekerja hari mi untuk makan esok dan esok untuk makan lusa. Begitu seterusnya gambaran kehidupanku. Kadang hasil yang kudapat cukup untuk makan sehari, kadang juga tidak. Selama bulan puasa hingga menjelang hari raya, harga telah melambung tinggi, sulit kucapai.
***
Malam telah tiba menyapa, takbir telah bergema ke penjuru desa. Besok telah datang hari yang fitri. Hatiku terbang ke awan, berharap kedatangan putra tunggalku di depan mata saat ini untuk berkumpul seraya mengagungkan Tuhan kami. Namun, aku sadar betul putraku tak pernah datang seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku berharap agar dia bisa kembali. Namun hanya bayangan kecilnya yang selalu hadir di pelupuk mata.
Alhamdulillah, hari ini aku telah mendapat zakat dari tiga orang, cukup untuk dua minggu ke depan. Namun, aku masih punya satu ganjalan, harus dengan apa aku menyuguhi tamu-tamuku besok? Haruskah aku menyuguhi air putih dan kerupuk disaat tetangga-tetangga menyuguhi mereka roti beraneka macam, permen, teh, sirup, dan makanan lezat lainnya?
Akankah mereka mau datang ke gubuk reyot yang hanya tersedia kerupuk dan air? Sebab, hanya itulah yang aku punya. Hatiku pilu,. Ah.. tapi tidakkah makna hari fitri itu adalah kesucian dan bukan makanan? Hatiku berkecamuk antara minder dan menentang.
Aku telah renta, namun aku harus berpikir sulitnya hidup sekarang. Menyuguh tamu saja aku tidak bisa. Aku benar-benar terpuruk dalam kepiluan hatiku. Kulihat Hanah main dengan boneka usangnya di amben depan rumah. Kudekati dia dan dia tersenyum kepadaku. Hatiku semakin terenyuh. Ada rasa yang tak bisa kusingkirkan melihat senyum bocah itu, menusuk di dada hingga dalam.
Mak, Hanah minta boneka lagi, ya? Buat teman mi Katanya lucu dengan menunjuk boneka yang digendongnya.
"Iya Hanah, kalau Emak sudah punya uang ya, Nak," jawabku menghiburnya. Bagaimana aku menuruti peimintanya? Bahkan, membeli lauk saja aku kesulitan.
"Sudah malam Nak, cepat tidur. Besok ikut emak ke masjid tidak?" aku mengajaknya masuk ke rumah.
"Ngapain Mak ke masjid?" tanyanya lucu.
"Ya salat, berdoa kepada Allah."
"Iya Mak, Hanah ikut. Ayo sekarang kita tidur, biar besok bisa ke masjid," Dia menarik tanganku.
Setelah dia tidur dengan memeluk boneka usangnya dan berselimut gombal, kuusap jemari kecilnya dan kucium pipi gembulnya. Aku bangun, menyiapkan keperluan besok.
Aku pulang dengan langkah kecil yang lelah. Seharian hanya sedikit tempe yang terjual. Untunglah, tempe-tempe daganganku masih berbentuk kedelai sehingga besok bisa kujual lagi.
Anak perempuan kecil berambut ikal menyahutku di depan pintu dengan senyum yang rnenggemaskan. Matanya bulat, bibinya merah dengan dua pipi gembul yang lucu. Namun, siang ini dia terlihat kotor. Mungkin dia selesai bermain tadi dia tidak mandi.
Anak cantik dan lucu itu memang tidak ada yang mengurus sehingga kesan kotor melekat padanya. Baju usang pemberian tetanggalah yang sehari-hari kupakaikan padanya. Aku tak bisa membelikannya apa-apa. Sebab, untuk makan saja aku harus banting tulang seperti siang ini. Dengan sisa tenagaku yang renta kuhidupi dia seadanya.
Tangan kecilnya menggandeng tanganku yang telah keriput masuk ke rumah yang lebih pantas disebut gubuk, peninggalan suamiku yang siap ambruk. Setelah daganganku kuletakkan di atas meja, kumandikan dia di sumur berlumut tanpa sabun. Lalu, kuajak dia tidur di dipan tanpa kasur. Setelah dia terlelap kuselimuti dia dengan gombal. Hanya itulah yang aku punya untuk cucu tunggalku tersebut. Kulihat waiah lucunya telah terbuai dalam mimpi, bersih nan imut.
Hatiku nelangsa setiap kali melihatnya tersenyum. Di saat anak-anak seusianya rnemakai baju baru dan mulai bersekolah di TK, sesuap nasi saja aku harus susah payah memberikannya. Apalagi memberikan apa yang umumnya diberikan orang tua kepada anaknya menjelang dia sekolah.
Anak perempuan ini adalah cucu pertama sekaligus cucu tunggalku yang dititipkan anakku sebelum dia pergi merantau lima tahun lalu. Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan sekarang ayahnya tak pernah sekali pun menjenguknya setelah rnerantau.
Sehingga, akulah yang harus menghidupinya, mencurahkan kasih sayang kepadanya dan menjadi orang tua baginya. Dia pun memanggilku dengan sebutan emak. Suamiku sendiri telah meninggal delapan tahun lalu sehingga kini aku menjalani hari tuaku dengan ditemani Hanah, cucuku itu.
Tetangga-tetangga memanggilku Mbok Rikah. Kadang mereka memanggilku datang ke rumahnya untuk membeli tenagaku. Aku menjadi huruh setengah hari dengan upah yang minim, namun aku tetap mensyukurinya.
Sore ini aku bekerja di rumah Bu Salim. Hanah menyusulku ketika aku sedang mencuci.
"Mak, lapar.." Hanah merengek di depanku. Ya ampun.. aku lupa memberinya makan sebelum tidur tadi karena aku sendiri juga telah capek.
"Hanah belum makan? Sini, Emak masih nyuci.
"Hanah makan sini saja," Bu Salim ternyata mendengar rengekan Hanah. Dengan langkah kecilnya, Hanah mengikuti perempuan setengah baya itu.
"Waduh Bu, terima kasih banyak. Tadi saya lupa tidak memberi makan siang," ucapku berterima kasih atas kebaikannya yang sangat menolongku. Alhamdulillah, aku mendapat pertolongan. Aku memang tidak mempunyai makanan di rumah. Aku hanya bergantung pada upah yang diberi Bu Salim untuk makan sore ini...
Besok lusa telah memasuki bulan Ramadan. Itu berarti aku akan bekerja dan menjalani puasa walau tanpa sahur dan Hanah kecil bisa makan seadanya. Di belakang rumah masih ada beberapa pohon singkong.
Siang ini aku menjalani puasa dengan tubuh lemas, mungkin karena tidak sahur. Pagi tadi aku telah mburuh dan berdagang tempe di Pasar Waringin, pasar kecil di perbatasan desa.
Hanah telah tidur. Kulihat di meja masih tersisa dua potong singkong rebus. Aku tidur di dekatnya, memeluk tubuh gadis kecil itu. Terasa sesak memikirkan bagaimana esok aku menghidupinya.
Bekerja hari mi untuk makan esok dan esok untuk makan lusa. Begitu seterusnya gambaran kehidupanku. Kadang hasil yang kudapat cukup untuk makan sehari, kadang juga tidak. Selama bulan puasa hingga menjelang hari raya, harga telah melambung tinggi, sulit kucapai.
***
Malam telah tiba menyapa, takbir telah bergema ke penjuru desa. Besok telah datang hari yang fitri. Hatiku terbang ke awan, berharap kedatangan putra tunggalku di depan mata saat ini untuk berkumpul seraya mengagungkan Tuhan kami. Namun, aku sadar betul putraku tak pernah datang seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku berharap agar dia bisa kembali. Namun hanya bayangan kecilnya yang selalu hadir di pelupuk mata.
Alhamdulillah, hari ini aku telah mendapat zakat dari tiga orang, cukup untuk dua minggu ke depan. Namun, aku masih punya satu ganjalan, harus dengan apa aku menyuguhi tamu-tamuku besok? Haruskah aku menyuguhi air putih dan kerupuk disaat tetangga-tetangga menyuguhi mereka roti beraneka macam, permen, teh, sirup, dan makanan lezat lainnya?
Akankah mereka mau datang ke gubuk reyot yang hanya tersedia kerupuk dan air? Sebab, hanya itulah yang aku punya. Hatiku pilu,. Ah.. tapi tidakkah makna hari fitri itu adalah kesucian dan bukan makanan? Hatiku berkecamuk antara minder dan menentang.
Aku telah renta, namun aku harus berpikir sulitnya hidup sekarang. Menyuguh tamu saja aku tidak bisa. Aku benar-benar terpuruk dalam kepiluan hatiku. Kulihat Hanah main dengan boneka usangnya di amben depan rumah. Kudekati dia dan dia tersenyum kepadaku. Hatiku semakin terenyuh. Ada rasa yang tak bisa kusingkirkan melihat senyum bocah itu, menusuk di dada hingga dalam.
Mak, Hanah minta boneka lagi, ya? Buat teman mi Katanya lucu dengan menunjuk boneka yang digendongnya.
"Iya Hanah, kalau Emak sudah punya uang ya, Nak," jawabku menghiburnya. Bagaimana aku menuruti peimintanya? Bahkan, membeli lauk saja aku kesulitan.
"Sudah malam Nak, cepat tidur. Besok ikut emak ke masjid tidak?" aku mengajaknya masuk ke rumah.
"Ngapain Mak ke masjid?" tanyanya lucu.
"Ya salat, berdoa kepada Allah."
"Iya Mak, Hanah ikut. Ayo sekarang kita tidur, biar besok bisa ke masjid," Dia menarik tanganku.
Setelah dia tidur dengan memeluk boneka usangnya dan berselimut gombal, kuusap jemari kecilnya dan kucium pipi gembulnya. Aku bangun, menyiapkan keperluan besok.
0 Response to "Asa Yang Tersisa di Malam Takbir"
Posting Komentar