Peri yang Tua dan Mati dalam Damai

oleh: Rio Febbianur Rachman

Malam itu tak begitu dingin. Sepi. Aku di halaman depan rumah, sengaja duduk-­duduk santai di sebuah bangku panjang untuk menikmati malam. Meski sebenamya aku tahu, udara malam tak baik untuk kesehatan.

Ada sesuatu yang sangat kuat pada malam hari, begitu pikirku, dan sesuatu yang kuat itu seperti memiliki energi super yang menarikku untuk mencintainya. Mencintai malam.

Sesekali suara burung berceracau terdengar. Tapi, aku tak tahu asalnya. Dari pohon rindang di depan masjid yang berada tak jauh dari rumahku kah? Atau, dari salah sebuah sangkar tetangga? Aku benar-benar tak paham dan tak yakin dari mana persisnya suara itu bersumber.

Di tengah keheningan itu, perhatianku tersedot sejenak oleh satu suara misterius. Suara sayap mengepak. Tapi, aku yakin itu bukan suara sayap burung. Aku yakin sepasang sayap yang mengepak itu jauh lebih lebar dan besar daripada sepasang sayap burung. Tiba-tiba ada beberapa bulu putih yang jatuh dari langit hitam cerah ke tanah tempatku berpijak. Tak berapa lama, sesosok makhluk sebesar manusia dewasa tersungkur jatuh di depanku. Dia bersayap!

Putih bulu sayapnya dengan panjang dan lebar atau besar yang proporsional dengan tubuhnya. Aku mendekat. Tampak jelaslah, dia adalah seorang tua. Wajahnya dihiasi kerutan. Kumis dan jenggotnya putih.

''Aku haus,'' ucapnya mengejutkan keterpakuanku. ''Bapak siapa?'' aku menyahut ucapannya dengan sebuah pertanyaan yang dipenuhi nada heran.

''Aku haus,'' singkatnya. Tebersit di benakku, apa namanya adalah ''haus''. Ha ha ha. Bersitan yang bodoh.

''Tunggulah sebentar, aku akan mengambilkanmu minum,'' entah mengapa, tak ada sedikit pun rasa takut yang hinggap pada diriku. Padahal, jelas orang yang bukan orang di hadapanku ini adalah makhluk asing!

''Tak usah ambilkan air. Berikan aku dedaunan hijau,'' pintanya.

''Dedaunan?'' aku menjadi teramat heran. Haus tapi minta daun, bukan air.

''Berikan aku dedaunan hijau,'' singkatnya. Aku pun dengan tanggas memetik berlembar-lembar dedaunan hijau. Kusuguhkan padanya. Tebersit di pikirku, apa orang yang bukan orang ini adalah siluman kambing atau sapi yang herbivora? Ha ha ha. Bersitan yang dungu.

Dia tidak menyentuh dedaunan yang kuberikan. Dia hanya menghirup baunya. Jelas terlihat dia mencium dedaunan itu dengan kuat. Seketika, dedaunan itu kering. Aku takjub! Keajaiban sedang terjadi di hadapanku!

Dia lalu berdiri. Dia seorang yang gagah, namun sudah tua. Sudah banyak bulu di sayapnya yang rontok. Tebersit di hatiku, mungkinkah dia punya hubungan kekeluargaan dengan ayam atau bebek yang bila sudah tua bulu di sayapnya rontok dimakan usia? Ha ha ha. Suatu bersitan yang tidak cerdas.

''Terima kasih sobat manusia, aku merasa lebih baik sekarang,'' ucapnya padaku.

''Maaf, bolehkah saya tahu, Bapak ini siapa?'' dia sedikit terbatuk selepas sepersekian detik pertanyaan yang kulontarkan.

''Aku adalah peri. Aku peri yang tua,'' ujar dia terhenti sejenak.

''Dan kurasa, sebentar lagi aku mati,'' wajahnya sedikit memerah, lalu dia terbatuk lebih lama daripada sebelumnya.

''Terima kasih, kamu adalah manusia yang baik. Aku beruntung tersungkur di hadapanmu,'' ujarnya lagi.

''Bapak bilang, Bapak peri? Dan, Bapak akan mati?'' tanya heran kembali kulayangkan.

''Iya, wahai sobat manusia. Aku adalah peri. Aku yakin sebentar lagi aku mati. Nyawaku terasa sudah tak akan lama lagi bersemayam di dunia fana. Aku bisa merasakannya,'' katnya.

''Aku akan mati. Tubuhku akan menjadi debu-debu putih mengkilat. Jutaan debu-­debu bersinar. Yang semuanya berusaha naik ke langit. Mencari sebuah singgasana di nirwana. Di antara jutaan debu, hanya ada satu yang berhasil duduk di singgasana. Kemudian debu itu harus sabar menunggu dihidupkan sebagai peri yang baru. Sedangkan nyawaku bersemayam di satu tempat yang jauh. Di keabadian. Bersiap menerima ganjaran dari apa yang telah kulakukan selama hidup,'' jelasnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Peri yang Tua dan Mati dalam Damai"

Posting Komentar