
Oleh: Indah Hartini
Ayahku adalah sosok pria yang tak mudah putus asa. Sejak kepergian bunda lima tahun lalu, ayahku berjuang sendirian membesarkanku dan kedua adikku. Beliau mengabdikan diri sebagai seorang guru di sebuah SMP Muhammadiyah selama kurang lebih 30 tahun. Selepas mengajar, ayah mengayuh becak demi mencari nafkah. Itulah ayahku, pria tua berusia 52 tahun yang mempunyai semangat hidup tinggi.
Banyak orang yang berkata, gaji guru zaman sekarang ini cukup tinggi karena ditambah sertifikasi dan guru profesi. Namun, hal itu tidak berlaku pada ayahku karena hingga kini ayahku belum diangkat menjadi pegawai negeri sehingga hanya menerima gaji pas-pasan.
Meski demikian, ayah tak pernah mengeluh. Beliau ikhlas mengabdikan diri sebagai guru yang sebagian besar muridnya berasal dari keluarga menengah ke bawah. Aku sebagai anak sulung tentu merasa ikut bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
"Nduk, kamu itu yang penting kuliah. Tak usah kau pikirkan mengenai uang. Meski kau tak punya harta benda, kau harus punya ilmu," itulah untaian kata-kata indah yang pernah ayah ucapkan sebelum aku masuk kuliah. Aku berusaha kuat jalani hidup ini demi ayah dan kedua adikku.
"Ayah jangan jadi tukang becak lagi, Rifai malu sama teman-teman," ucap Rifai, adikku yang paling kecil. Aku selalu berusaha memberikan pengertian kepada kedua adikku untuk tidak minder dengan keadaannya saat ini.
Namun, aku rasa Rifai masih terlalu dini untuk mengerti keadaan ekonomi keluarga kami. Dia sering ngambek tak mau sekolah jika diejek teman-temannya mengenai profesi ayah yang sebagai tukang becak.
Sudah hampir sebulan ini ayahku sakit. Beliau tak dapat mengajar dan mengayuh becak. Keadaan ekonomi keluarga cukup memburuk. Adikku, Razif, yang masih duduk di bangku SMA, tiap pulang sekolah selalu menggantikan ayah mengayuh becak. Sebelum berangkat kuliah, aku juga berkeliling untuk jualan kue.
Namun, semua itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Otakku terus berputar. Aku butuh biaya banyak untuk membeli obat bagi ayah. Aku pun belum bayar uang kuliah semester ini. Beberapa bulan lagi Razif juga sudah lulus SMA. Tentu dia butuh biaya banyak untuk kuliah. Aku tak ingin melihat adik-adikku putus sekolah.
"Mbak, biarlah aku tak kuliah, aku akan menggantikan ayah mengayuh becak. Mbak Syifa dan Rifai harus jadi orang sukses dan meneruskan cita-cita ayah. Mbak, aku akan kumpulkan uang untuk biaya kuliah hingga Mbak Syifa lulus," ucap Razif, adikku yang telah duduk di bangku kelas tiga SMA. "Tidak Dek, kamu dan Rifai itu laki-laki, kalian harus jadi sarjana," ucapku dengan deraian air mata.
Malam itu, air mataku terus mengalir. Kuciumi kedua adikku, Razif dan Rifai, yang telah tertidur lelap di tikar. Mataku pun memandang wajah ayah yang teramat pucat. Kupeluk ayahku dengan deraian air mata. Kuambil selimut berwarna hijau dan kuselimuti kedua bintang hatiku, Razif dan Rifai.
"Razif dan Rifai sayang, Mbak Syifa pergi untuk mencari jalan terang demi masa depan kalian. Razif, sayangku jaga ayah dan Dek Rifai," itulah sepenggal surat yang kutulis untuk kedua adikku.
Hari itu kutinggalkan rumah dengan harapan aku bisa mendapatkan pekerjaan. Tentu dengan tujuan membiayai sekolah kedua adikku. Kutinggalkan bangku kuliah demi adik-adikku tercinta. Razif dan Rifai tak akan kubiarkan masa depan kelam menantimu.
Perjalananku terhenti di sebuah rumah mewah bercat hijau. Di rumah itu aku melamar pekerjaan. Syukur alhamdulillah, pemilik rumah itu sangat baik kepadaku. Meski tanpa ijazah S-1, Bapak Bambang, pemilik rumah tersebut, mengangkatku menjadi sekretaris di perusahaannya. Aku pun memiliki gaji lumayan tinggi yang dapat kukirimkan untuk keluargaku di kampung.
Tiga tahun telah berlalu, aku begitu merindukan ayah dan kedua adikku. Hingga akhirnya aku memutuskan pulang kampung. Jika dihitung-hitung, mungkin adikku, Razif, sebentar lagi menjadi sarjana dan mungkin Rifai telah duduk di bangku kuliah.
"Aku harus pulang karena Razif butuh biaya banyak untuk skripsi," pikirku. Setelah hampir seharian dalam perjalanan, sampailah aku di kampung halamanku. Kurasa aku tak salah alamat, namun rumahku telah rata dengan tanah.
Apa aku tak salah lihat? Memang dulu rumahku tak begitu bagus. Tak layak disebut rumah, malah. Tapi, kenapa sekarang jadi begini? Tak kulihat sedikit pun sisa bangunan yang dulu menopang rumahku, rumah milik ayah, aku, Razif, dan Rifai. Ke mana semuanya? Apa yang telah terjadi setelah tiga tahun aku pergi meninggalkan mereka?
Air mataku meleleh dengan sendirinya. Kulihat seorang pemuda berbaju compang-camping mengayuh becak. Kudekati dan kurangkul pemuda tersebut seraya berkata, "Razif adikku, Razif sayangku. Kenapa kau tak kuliah? Mbak Syifa berharap kau bakal jadi sarjana bukan seperti ini!''
"Mbak, ayah telah pergi. Uang yang Mbak kirimkan digunakan untuk biaya pengobatan ayah dan biaya kuliah Rifai. Maafkan aku Mbak, aku tak bisa menjaga ayah," jawab adikku dengan sesenggukan.
Kupeluk adikku dengan erat, erat, dan cukup erat. Kuhapus keringat adikku yang bekerja keras demi menyambung hidup. "Oh ...Ayahku. Kenapa engkau pergi sebelum sempat melihat putra dan putrimu meraih kesuksesan. Ayah, ibu, aku janji kepada kalian aku kan korbankan diriku demi adik-adikku."
Pagi itu, aku dan Razif hendak menemui Rifai di kosnya. Aku begitu merindukan adik bungsuku yang teramat manja. Aku ingin segera memeluk calon sarjana tersebut. Setelah aku memencet bel rumah tersebut, seorang pemuda tampan berkulit putih membukakan pintu gerbang tempat Rifai kos. "Maaf Dek, bisakah aku bertemu Muhammad Rifai?'' tanyaku kepada pemuda tampan tersebut.
Tapi, pemuda itu tak memedulikan pertanyaanku. Dia malah berkata kasar kepada adikku, Razif. "Mas Razif kenapa datang kemari? Aku kan sudah bilang berkali-kali jika ingin mengirimkan uang lewat wesel saja! Mau taruh di mana mukaku jika teman-temanku tahu kakakku seorang tukang becak. Sudahlah, Mas Razif cepat pergi sana!'' bentak pemuda itu yang ternyata adalah Rifai, adikku.
Sungguh, aku tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Aku benar-benar tak menyangka adik bungsuku dapat berkata kejam seperti itu. Jadi, selama ini dia tak mengakui Razif sebagai kakaknya.
"Biadab kau Rifai! Ingatlah, tanpa Razif kau adalah gelandangan. Ayah tak pernah berkecil hati sebagai tukang becak dan karena becak pula kau dapat kuliah. Tiada guna kau jadi sarjana. Semakin tinggi ilmu yang kau miliki membuatmu menjadi angkuh. Lebih balk lepas almamatermu dan turun ke jalan. Jadilah kau tukang becak menggantikan Razif!'' ucapku kesal.
Belum kering air mataku karena kepergian ayah, kini dengan mata kepalaku sendiri aku harus menyaksikan keangkuhan adik bungsuku. "Dek, kita turuti saja keinginan Rifai. Kita tak usah menemuinya lagi. Kita cukup kirimkan uang saja," kataku kepada Razif.
''Mbak Syifa jangan pernah membenci Rifai. Dia tetap adik kecil kita yang lugu dan berhati baik. Pergaulanlah yang mengubahnya seperti itu," kata Razif dengan tutus. Di antara kami bertiga memang Razif-lah yang paling mirip dengan ayah. Razif sosok yang teramat istimewa.
"Dek, meski kau bukan sarjana, Mbak yakin kau berilmu. Kaulah yang pantas meneruskan cita-cita ayah sebagai guru," kataku kepada Razif.
"Dengan modal apa?" tanyanya lugu. "Dengan modal kejujuran dan akhlak mulia, kau kan menjadi guru bagi anak-anak jalanan. Dengan demikian, kau tetap bisa mewujudkan cita-cita ayah," jawabku.
Razif pun memelukku dengan deraian air mata. Berkat bantuan Pak Bambang, kini Razif bisa menjadi guru dan membangun sekolah untuk anak-anak jalanan. Banyak pihak yang menaruh simpati kepada Razif hingga akhirnya dia dapat kuliah dan menjadi sarjana. (*)
Ayahku adalah sosok pria yang tak mudah putus asa. Sejak kepergian bunda lima tahun lalu, ayahku berjuang sendirian membesarkanku dan kedua adikku. Beliau mengabdikan diri sebagai seorang guru di sebuah SMP Muhammadiyah selama kurang lebih 30 tahun. Selepas mengajar, ayah mengayuh becak demi mencari nafkah. Itulah ayahku, pria tua berusia 52 tahun yang mempunyai semangat hidup tinggi.
Banyak orang yang berkata, gaji guru zaman sekarang ini cukup tinggi karena ditambah sertifikasi dan guru profesi. Namun, hal itu tidak berlaku pada ayahku karena hingga kini ayahku belum diangkat menjadi pegawai negeri sehingga hanya menerima gaji pas-pasan.
Meski demikian, ayah tak pernah mengeluh. Beliau ikhlas mengabdikan diri sebagai guru yang sebagian besar muridnya berasal dari keluarga menengah ke bawah. Aku sebagai anak sulung tentu merasa ikut bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
"Nduk, kamu itu yang penting kuliah. Tak usah kau pikirkan mengenai uang. Meski kau tak punya harta benda, kau harus punya ilmu," itulah untaian kata-kata indah yang pernah ayah ucapkan sebelum aku masuk kuliah. Aku berusaha kuat jalani hidup ini demi ayah dan kedua adikku.
"Ayah jangan jadi tukang becak lagi, Rifai malu sama teman-teman," ucap Rifai, adikku yang paling kecil. Aku selalu berusaha memberikan pengertian kepada kedua adikku untuk tidak minder dengan keadaannya saat ini.
Namun, aku rasa Rifai masih terlalu dini untuk mengerti keadaan ekonomi keluarga kami. Dia sering ngambek tak mau sekolah jika diejek teman-temannya mengenai profesi ayah yang sebagai tukang becak.
Sudah hampir sebulan ini ayahku sakit. Beliau tak dapat mengajar dan mengayuh becak. Keadaan ekonomi keluarga cukup memburuk. Adikku, Razif, yang masih duduk di bangku SMA, tiap pulang sekolah selalu menggantikan ayah mengayuh becak. Sebelum berangkat kuliah, aku juga berkeliling untuk jualan kue.
Namun, semua itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Otakku terus berputar. Aku butuh biaya banyak untuk membeli obat bagi ayah. Aku pun belum bayar uang kuliah semester ini. Beberapa bulan lagi Razif juga sudah lulus SMA. Tentu dia butuh biaya banyak untuk kuliah. Aku tak ingin melihat adik-adikku putus sekolah.
"Mbak, biarlah aku tak kuliah, aku akan menggantikan ayah mengayuh becak. Mbak Syifa dan Rifai harus jadi orang sukses dan meneruskan cita-cita ayah. Mbak, aku akan kumpulkan uang untuk biaya kuliah hingga Mbak Syifa lulus," ucap Razif, adikku yang telah duduk di bangku kelas tiga SMA. "Tidak Dek, kamu dan Rifai itu laki-laki, kalian harus jadi sarjana," ucapku dengan deraian air mata.
Malam itu, air mataku terus mengalir. Kuciumi kedua adikku, Razif dan Rifai, yang telah tertidur lelap di tikar. Mataku pun memandang wajah ayah yang teramat pucat. Kupeluk ayahku dengan deraian air mata. Kuambil selimut berwarna hijau dan kuselimuti kedua bintang hatiku, Razif dan Rifai.
"Razif dan Rifai sayang, Mbak Syifa pergi untuk mencari jalan terang demi masa depan kalian. Razif, sayangku jaga ayah dan Dek Rifai," itulah sepenggal surat yang kutulis untuk kedua adikku.
Hari itu kutinggalkan rumah dengan harapan aku bisa mendapatkan pekerjaan. Tentu dengan tujuan membiayai sekolah kedua adikku. Kutinggalkan bangku kuliah demi adik-adikku tercinta. Razif dan Rifai tak akan kubiarkan masa depan kelam menantimu.
Perjalananku terhenti di sebuah rumah mewah bercat hijau. Di rumah itu aku melamar pekerjaan. Syukur alhamdulillah, pemilik rumah itu sangat baik kepadaku. Meski tanpa ijazah S-1, Bapak Bambang, pemilik rumah tersebut, mengangkatku menjadi sekretaris di perusahaannya. Aku pun memiliki gaji lumayan tinggi yang dapat kukirimkan untuk keluargaku di kampung.
Tiga tahun telah berlalu, aku begitu merindukan ayah dan kedua adikku. Hingga akhirnya aku memutuskan pulang kampung. Jika dihitung-hitung, mungkin adikku, Razif, sebentar lagi menjadi sarjana dan mungkin Rifai telah duduk di bangku kuliah.
"Aku harus pulang karena Razif butuh biaya banyak untuk skripsi," pikirku. Setelah hampir seharian dalam perjalanan, sampailah aku di kampung halamanku. Kurasa aku tak salah alamat, namun rumahku telah rata dengan tanah.
Apa aku tak salah lihat? Memang dulu rumahku tak begitu bagus. Tak layak disebut rumah, malah. Tapi, kenapa sekarang jadi begini? Tak kulihat sedikit pun sisa bangunan yang dulu menopang rumahku, rumah milik ayah, aku, Razif, dan Rifai. Ke mana semuanya? Apa yang telah terjadi setelah tiga tahun aku pergi meninggalkan mereka?
Air mataku meleleh dengan sendirinya. Kulihat seorang pemuda berbaju compang-camping mengayuh becak. Kudekati dan kurangkul pemuda tersebut seraya berkata, "Razif adikku, Razif sayangku. Kenapa kau tak kuliah? Mbak Syifa berharap kau bakal jadi sarjana bukan seperti ini!''
"Mbak, ayah telah pergi. Uang yang Mbak kirimkan digunakan untuk biaya pengobatan ayah dan biaya kuliah Rifai. Maafkan aku Mbak, aku tak bisa menjaga ayah," jawab adikku dengan sesenggukan.
Kupeluk adikku dengan erat, erat, dan cukup erat. Kuhapus keringat adikku yang bekerja keras demi menyambung hidup. "Oh ...Ayahku. Kenapa engkau pergi sebelum sempat melihat putra dan putrimu meraih kesuksesan. Ayah, ibu, aku janji kepada kalian aku kan korbankan diriku demi adik-adikku."
Pagi itu, aku dan Razif hendak menemui Rifai di kosnya. Aku begitu merindukan adik bungsuku yang teramat manja. Aku ingin segera memeluk calon sarjana tersebut. Setelah aku memencet bel rumah tersebut, seorang pemuda tampan berkulit putih membukakan pintu gerbang tempat Rifai kos. "Maaf Dek, bisakah aku bertemu Muhammad Rifai?'' tanyaku kepada pemuda tampan tersebut.
Tapi, pemuda itu tak memedulikan pertanyaanku. Dia malah berkata kasar kepada adikku, Razif. "Mas Razif kenapa datang kemari? Aku kan sudah bilang berkali-kali jika ingin mengirimkan uang lewat wesel saja! Mau taruh di mana mukaku jika teman-temanku tahu kakakku seorang tukang becak. Sudahlah, Mas Razif cepat pergi sana!'' bentak pemuda itu yang ternyata adalah Rifai, adikku.
Sungguh, aku tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Aku benar-benar tak menyangka adik bungsuku dapat berkata kejam seperti itu. Jadi, selama ini dia tak mengakui Razif sebagai kakaknya.
"Biadab kau Rifai! Ingatlah, tanpa Razif kau adalah gelandangan. Ayah tak pernah berkecil hati sebagai tukang becak dan karena becak pula kau dapat kuliah. Tiada guna kau jadi sarjana. Semakin tinggi ilmu yang kau miliki membuatmu menjadi angkuh. Lebih balk lepas almamatermu dan turun ke jalan. Jadilah kau tukang becak menggantikan Razif!'' ucapku kesal.
Belum kering air mataku karena kepergian ayah, kini dengan mata kepalaku sendiri aku harus menyaksikan keangkuhan adik bungsuku. "Dek, kita turuti saja keinginan Rifai. Kita tak usah menemuinya lagi. Kita cukup kirimkan uang saja," kataku kepada Razif.
''Mbak Syifa jangan pernah membenci Rifai. Dia tetap adik kecil kita yang lugu dan berhati baik. Pergaulanlah yang mengubahnya seperti itu," kata Razif dengan tutus. Di antara kami bertiga memang Razif-lah yang paling mirip dengan ayah. Razif sosok yang teramat istimewa.
"Dek, meski kau bukan sarjana, Mbak yakin kau berilmu. Kaulah yang pantas meneruskan cita-cita ayah sebagai guru," kataku kepada Razif.
"Dengan modal apa?" tanyanya lugu. "Dengan modal kejujuran dan akhlak mulia, kau kan menjadi guru bagi anak-anak jalanan. Dengan demikian, kau tetap bisa mewujudkan cita-cita ayah," jawabku.
Razif pun memelukku dengan deraian air mata. Berkat bantuan Pak Bambang, kini Razif bisa menjadi guru dan membangun sekolah untuk anak-anak jalanan. Banyak pihak yang menaruh simpati kepada Razif hingga akhirnya dia dapat kuliah dan menjadi sarjana. (*)
0 Response to "Arti Penting Sebuah Ijazah"
Posting Komentar