Sebuah Rumah yang Hangat

Oleh: Isnaini Pusaka Dewi

Entah sejak kapan aku mulai lupa hangatnya rumah ini. Rumah dengan cat putih bersih, langit-langit yang tinggi, dan barang-barang yang serba mewah menghuni rumah ini. Sungguh rumah yang sempurna bagi seorang putri, sayangnya aku bukan putri kerajaan. Aku hanyalah putri satu-satunya dari kedua orang tuaku.

Aku baru pulang dari sekolah dan tidak menemukan siapa pun di rumah. Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, jadi aku hanya bisa tersenyum tipis sambil melihat ke seluruh sudut yang ada di rumahku. Orang tuaku memang membayar beberapa orang untuk membereskan rumah ketika kami sedang bekerja atau sekolah. Yang bisa kulihat hanyalah hasil pekerjaan mereka, seperti makanan yang sudah ada di atas meja atau seluruh rumah yang terlihat bersih dan rapi.

Aku duduk di atas sofa yang ada di ruang keluarga setelah mengganti baju seragamku dan makan siang. Kunyalakan televisi dan menemukan acara komedi di salah satu channel. Aku tertawa mendengar dan melihat canda mereka. Tapi entah mengapa aku hanya merasakannya di bibir saja. Hatiku tidak pernah bisa tertawa mengikuti gerak bibirku. Apa artinya kalau hanya bisa tertawa sendiri?

Dari luar aku tampak bahagia dengan segala yang kumiliki, tapi sebenarnya aku sangat menyedihkan. Aku merasa kedinginan di rumahku sendiri. Aku terus mencari-cari cara agar bisa menghangatkannya, tapi tetap saja terasa dingin

Aku masih ingat saat itu aku sangat menyukai rumah yang megah ini. Aku masih ingat pernah merasakan kehangatan di sofa yang sekarang kududuki ini. Aku masih ingat pernah menonton televisi bersama kedua orang tuaku di atas sofa ini. Tapi yang kini kurasakan adalah dingin yang merasuk ke seluruh tubuhku.

Kadang aku merasa kalau sekolahku masih Iebih hangat daripada rumahku sendiri. Aku bisa tertawa dengan tulus tanpa beban disana. Rumahku yang dulu pun masih jauh Iebih hangat, padahal rumah itu sederhana dan tidak terlalu besar. Lalu kami pindah rumah karena papaku yang naik jabatan sudah mampu membeli rumah seperti ini. Awalnya papaku hanya bekerja sampai siang atau sore hari, tapi lama-lama papa menambah jam kerjanya untuk bisa membiayai perawatan rumah yang besar ini. Beberapa waktu kemudian mama juga ikut bekerja untuk membantu papa.

"Kenapa mama juga ikut kerja sih? Kenapa mama nggak di rumah aja kayak dulu?" tanyaku yang masih SD. Saat itu baru beberapa bulan mama bekerja, tapi aku sudah mulai merasakan kalau perlahan rumah ini semakin dingin.

"Sayang, kalau mama tidak kerja, nanti tidak bisa membiayai Shirly sekolah. Shirly tau kan kalau biaya rumah ini mahal? Papa dan mama juga harus membayar orang yang bekerja disini. Kasihan nanti mereka..." jelas mama dengan lembut agar aku bisa mengerti. Aku mencoba untuk mengerti tapi aku tetap tidak mengerti.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dan membiarkan kedua orang tuaku bekerja, tapi mereka malah semakin larut dalam pekerjaan mereka hingga rasa dingin ini semakin menusuk sampai ke tulang-tulangku. Aku hanya bisa bertemu kedua orang tuaku saat mereka baru pulang kerja dan pagi hari ketika kami sarapan bersama. Saat itu tidak banyak yang bisa kami bicarakan agar suasana rumah jadi Iebih hidup.

Aku mematikan televisi dan beranjak dari sofa yang kududuki. Aku berjalan ke seluruh ruangan yang ada di rumahku, berharap menemukan kehangatan di salah satu ruangan tersebut. Tapi ruangan-ruangan ber-AC itu puluhan kali Iebih dingin dibanding sofa yang kududuki tadi. Aku merasakan lantai yang kutapaki seperti balok es, tapi aku mencoba melawan rasa dinginnya.

Aku berjalan dan berhenti di depan jendela rumahku yang ada di Iantai dua. Aku menyibak gorden putihnya hingga sinar matahari memasuki rumahku Iebih banyak dari sebelumnya. Secara teori harusnya radiasi matahari akan sampai ke rumahku, tapi sepertinya rumahku memantulkannya agar panas matahari tidak bisa menyentuh tubuhku. Perlahan air mataku jatuh ke pipi dan mengalir ke dagu. Air mata dari kedua sisi mataku bersatu di dagu dan menetes bersama kesedihanku di lantai yang dingin. Aku membiarkan air mataku terus mengalir dan menetes membasahi Iantai. Aku ingin berteriak dengan keras agar perasaanku menjadi lega, tapi aku tidak bisa melakukannya karena bibirku gemetar. Ini pertama kalinya aku menangis sejak kami pindah kesini, selama ini aku sudah sangat tegar. Tapi hari ini ketegaranku runtuh bersama air mata yang terus berjatuhan ke Iantai.

Padahal sedang musim kering, tapi dinginnya seperti di daerah yang tampak kering karena airnya sudah membeku. Saat musim hujan tiba dinginnya akan semakin menjadi karena rumahku ini tidak bisa memantulkan angin yang berhembus kencang saat hujan turun, rumahku hanya bisa memantulkan panas matahari. Kesedihanku akan semakin mendalam saat musim itu tiba. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Setiap hari selalu sendiri meringkuk di atas sofa lalu melakukan hal-hal yang tidak perlu agar aku bisa sedikit merasa nyaman. Dan hari ini adalah puncaknya, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa agar kesepianku lenyap, agar kesedihanku memudar, dan agar rasa dingin ini menyingkir dari tubuhku. Aku hanya punya satu permohonan pada Tuhan, sebuah permohonan yang mudah bagi-Nya. Aku hanya ingin rumahku yang hangat kembali seperti pertama kali kami menempatinya dulu. (*)


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sebuah Rumah yang Hangat"

Posting Komentar